Rabu, 17 September 2008

Potret Orang Pinggiran –volume.2–

Potret Orang Pinggiran

Nenek itu ternyata masih kuat. Hampir setiap aku melewati perempatan yang biasa disebut mahatthah NP, nenek itu tampak berjalan menyusuri pinggiran jalan. Entah dari mana dia mendapatkan kekuatan extra itu. Lengannya kurus tak berotot, wajahnya tampak keriput termakan usia. Namun ternyata, dia masih begitu kuat mengulurkan sekotak tisu pada setiap mobil yang sedang menunggu aba-aba 'lampu hijau' polisi lalulintas.

Siang itu matahari musim panas terasa menyengat kulit. Aku yang berada di bis 993 saja merasa begitu pengap dan kepanasan. Tapi entah nenek itu. Bajunya hitam polos, postur tubuhnya kecil dan kurus; mirip nenekku.

Waktu masih kecil dulu, tak jarang nenek mencubiti pipiku. Sesaat kemudian aku menggeliat, nenek terbahak dengan tawa khasnya. Kursi kecil di teras depan adalah teman setianya setiap saat, tentu selain sebingkai mushaf berukuran besar. Tugas besar yang biasa diembannya sejak remaja telah dilimpahkan sepenuhnya pada kedua putranya; ibu dan pamanku.

Nenekku paling suka memasak. Ketika berkumpul dengan keluarga dari kota lain, pembahasan utama yang biasa dijadikan bahan obrolan adalah resep dan menu masakan. Ketika mendapatkan menu dan resep masakan baru, nenekku akan menyuruh ibu untuk mencatatnya di buku khusus yang telah disiapkan sebelumnya.

Suatu sore di hari minggu –hari paling kubenci; tugas masak telah menunggu– aku belanja di pasar Madrasah. Tampak seorang nenek duduk, bersandar pada imarah. Bajunya hitam polos dan terlihat lusuh. Beberapa bekas cipratan lumpur menghiasi kain pembalut tubuhnya. Di depannya terdapat beberapa tumpukan sayuran yang tampak sudah layu. Komunitas lalat iseng mencoba mengusik tubuh rentanya. Dengan beberapa tepisan lemah, dia mengusir beberapa lalat yang hinggap di mukanya.

Tak ada seorangpun pembeli yang mendekatinya. Ia masih saja menatap tomat-tomat yang sudah mulai membusuk. Entah apa yang dia pikirkan. Barangkali baginya, lalat-lalat nakal adalah teman setianya menghabiskan waktu tua. Dan bau busuk kotoran ayam yang ditebarkan oleh penjual ayam di sebrang adalah wewangian yang menghiasinya sepanjang hari. Ah, nenek itu...

Bulan ramadhan telah tiba, baru sehari aku menjalani ibadah puasa. Sore musim panas yang indah. Di atas bis bernomor 178, hatiku sedikit terusik. Tampak seorang kakek tua menyusuri pinggiran jalan di bilangan Hay Sabi'. Sebatang sapu tua tergenggam kuat di tangannya. Sesekali dia berusaha menghentikan mobil dan menjulurkan tangannya dengan raut muka mengiba. Kepalanya sedikit botak dengan beberapa helai rambut berwarna putih termakan usia.

Bus yang aku tumpangi masih terus berjalan menjauhi sosok tua yang masih menyapu pinggiran jalan raya. Aku masih saja menatapnya. Sesaat kemudian dia duduk menepi, kepalanya tertunduk lelah. Tenaga tuanya seperti tak bersisa, mungkin karena puasa.

Sewaktu kecil dulu, ketika bulan Ramadhan tiba, sesekali kakek mengajakku jalan-jalan silaturrahmi ke tetangga sekitar rumahku. Saat matahari mulai tenggelam, dia akan mengajakku pulang. Di jalan, sesekali dia tersenyum melihatku. Senyumnya polos, menampakkan raut muka bahagia.

Suatu pagi, sesaat sebelum aku berangkat ke sekolah, tiba-tiba kakek memanggil dan memberiku uang saku lebih. Pesannya singkat, "Nak, jangan bilang-bilang ke bapak dan ibumu bahwa kakek memberimu uang. Uang jajanmu biar banyak," begitu kira-kira ucapnya. Aku kegirangan, loncat-loncat tak karuan. Dan sesaat kemudian, aku sudah berada di atas sepeda kecil kesayanganku.

Sejenak aku menoleh melihat kakek. Tawanya meledak. Aku kembali mengayunkan sepeda menuju sekolah. Entah kakek yang menyapu pinggiran jalan Hay Sabi' itu. Barangkali, dia juga tertawa, tapi tentu dengan kasus yang berbeda. Senyumnya akan tampak ketika salah satu mobil melemparka recehan 25 piester. Bisa jadi begitu.

Malam itu aku melaksanakan shalat taraweh di masjid Bitrul, di bilangan Madrasah, Hay 'Asyir. Sepulang dari masjid, seorang kakek tampak duduk di pinggir jalan. Bersama seorang wanita bercadar yang menemaninya. Perempuan bercadar itu dengan setia mengulurkan beberapa suapan nasi padanya. Uban kakek itu tak begitu tampak di kegelapan malam.

Temanku yang merasa iba langsung merogoh beberapa gocek uang dari dompetnya, menjulurkannya dengan tulus. Sang kakek sepertinya lumpuh. Kursi roda reot menyangga tubuh rentanya. Senyumnya hambar ketika menerima uang dari temanku. Aku hanya bisa diam menyaksikan itu.

Beberapa saat kemudian kami berlalu, perempuan bercadar itu melanjutkan suapannya. Sesaat kami berhenti, melirik mereka kembali. "Ah, betapa beruntungnya kakekku," pikirku kemudian.

Rabu, 03 September 2008

Potret Orang Pinggiran –volume.1–

Potret Anak Pinggiran

Bocah kurus tak berbaju yang tak kenal bapaknya

Tatap matamu liar mencari mangsa

Ramai para pedagang datang tawarkan barang

Ratap pengemis bak meriang dalam terang

Potongan bait lagu Iwan Fals dengan judul terminal itu langsung tergambar di benak saat aku keluar dari masjid. Tampak seorang anak kecil mendongakkan kepala penuh semangat dan harapan. Tak segan dia menjulurkan tangannya dengan polos. Waktu masih berumur 7 tahunan dulu, begitu beruntungnya aku masih sempat duduk di bangku sekolah, entah anak itu.

Sehabis sekolah dulu, tak jarang aku langsung ngeluyur menyambar beberapa butir kelereng sambil lengak-lengok memastikan posisiku aman dari ayah-ibu. Dan sejurus kemudian, aku telah hilang dari rumah; mengahabiskan waktu seharian dengan bermain kelereng bersama teman-teman sebayaku. Tak jarang jeweran dari ibu menyambut kedatanganku sehabis main. Entah, sempatkah anak itu. Atau barangkali, jeweran juga dia dapatkan dari orang tuanya. Namun, pasti dengan kasus yang berbeda.

Barangkali, setiap adzan berkumandang anak itu selalu siap-siap guna melatih kekuatan bokongnya untuk duduk berlama-lama di depan masjid. Bahkan, di benaknya mungkin sudah tersimpan memori selembar kertas berisi jadwal waktu shalat beserta masjid-masjid tempatnya belajar. Ya, belajar menguatkan bokong dan melatih mengulurkan tangan.

Selain kelereng, saat musim kemarau, sering aku keliling bermain layang-layang di sawah-sawah. Mengukur luasnya sawah milik tetangga sebelah rumahku. Sebelum pulang, kadang sempat kuelus telinga; persiapan menyambut “sentuhan istimewa” ibu. Dan tak jarang aku menjerit dan menangis kesakitan. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bosan menerimanya.

Suatu malam di musim panas, bersama seorang teman aku jalan-jalan jam 12 tengah malam menyusuri pinggiran jalan raya Hay Sabi’. Tiba-tiba, terlihat anak kecil sedang memungut “sampah pilihan” di sebuah tong sampah berukuran agak besar. Mungkin baginya, sampah yang ia pilih adalah layang-layang indah temannya bermain. Dan lapangan yang dia ukur adalah luasnya tong sampah yang tersebar di seantero Hay Sabi’, atau bahkan mungkin seluas Kairo.

Hari minggu adalah hari yang kutunggu-tunggu saat aku kanak-kanak dulu. Dragon Ball, Power Rangers, Doraemon dan Tom & Jerry adalah tayangan yang selalu aku nantikan di televisi. Biasanya, seharian aku menghabiskan waktu di depan televisi tetangga. Dan saat nonton, tak ada seorangpun yang bisa mengganggu kecuali suara ayah atau ibu. Namun, aku terlalu cerdik untuk bisa ditemukan begitu saja oleh mereka. Setiap minggu, aku mendatangi rumah kawan secara bergantian agar jejakku tak terdeteksi. Ah, begitu pintarnya aku waktu itu.

Suatu sore di Bilangan Bawabah Tiga, aku main ke rumah seorang teman. Di pinggir jalan, tampak seorang ibu dengan 3 anaknya. Seorang di pangkuannya, dan 2 orang anak perempuan lainnya bertugas mencegat setip orang yang dianggap pantas untuk dijadikan obyek juluran tangan mereka. Umur mereka berkisar 5 dan 7 tahunan. Sepertinya, terlalu lucu untuk mengemban tugas itu. Entah, kenalkah mereka dengan Tom & Jerry, Doraemon atau Power Rangers? Bisa jadi, itu tak penting bagi mereka. Otak mereka terlalu “tua” untuk memikirkan itu. Atau mungkin “ditua-tuakan”. Yang pasti, mental mereka adalah “mental orang tua”.

Sehabis tamat SD, aku langsung diberangkatkan belajar ngaji di salah satu pondok pesantren di Madura, Annuqayah namanya. Selama 6 tahun lamanya aku mengenyam pendidikan di sana. Saat musim hujan tiba, tak jarang aku menghabiskan waktu di sungai untuk mancing. Maklum, saat hujan turun, lele banyak keluar. Sepulang dari sungai, teman-teman langsung memasaknya, kamipun berpesta. Ya, pesta lele 2 atau 3 ekor. Dan ketika waktu ngaji tiba, aku terkapar sendirian di kamar. Tak urung, bantaian dari pengurus keamanan pondok jadi santapan malamku. Walau demikian, sungai masih saja tetap menjadi teman akrab musim hujanku. Walaupun dia hanya bisa memberiku 2 atau 3 ekor lele.

Saat masih tinggal di bilangan Gami’, Hay ‘Asyir setahun lalu, tak jarang aku bertemu beberapa anak sedang menghafal Al-Qur’an secara intensif pada beberapa syaikh imam masjid Nurul Huda. Ketika salah seorang anak salah membacakan beberapa ayat, beberapa pukulan ringan langsung menghantam bokongnya. Tapi, tak ada seorang anakpun yang menjerit. Aku menilai, itu adalah pukulan nikmat seorang guru ngaji. Dan yang nampak di depan mataku adalah anak yang sedang menerima “bingkisan spesial”. “Pasti anak itu sedang menikmatinya,” pikirku dalam hati.

Saat keluar dari masjid, yang nampak adalah beberapa anak jalanan. Bahkan, seorang di antara mereka langsung mencegatku, menjulurkan tangan sambil lalu mengarahkan tangan kirinya ke mulut, pertanda minta uang untuk mengganjal perut. Padahal, tak tampak sedikitpun dia kelaparan. Yang muncul diotakku adalah, “rupanya anak ini sedang berlatih menguatkan juluran tangannya,” begitu pikirku. Dan, “Ah...” desahku kemudian.

Sewaktu kecil dulu, kadang ayah memberikan hadiah spesial berupa boneka atau mobil-mobilan. Perasaanku pasti tak karuan begitu bahagia, loncat sana-sini tanpa arah. Dan pasti, membanggakannya di depan teman-teman. Kebanggaan seorang anak kecil yang imut. Sehabis memberikannya, ayah-ibuku langsung tertawa kecil atau tersenyum bahagia.

Pernah suatu ketika, di sore musim panas yang indah, aku duduk ngasob bersama beberapa teman di bilangan Gami’. Tak lama setelah kami duduk, muncul seorang anak berlari kecil menuju ba’alah. Bajunya lusuh tak karuan. Rupanya dia membeli dua batang rokok. Cleopatra. Sejurus kemudian dia kembali ke tempatnya semula. Di sana, tampak seseorang yang terlihat lebih tua darinya. Berdua, mereka menikmati rokok yang baru mereka dapatkan; diatas “gerobak-gerobakan” tempat mereka bermain; kesana-kemari mengalunkan irama “baqia’, baqiaaa’...”.

Mereka tampak begitu bangga dengan setiap kepulan asap yang mereka keluarkan. “Akulah sang penakluk Kairo, setiap lekuk gang imarah sudah pernah aku lewati. Rokok ini jadi saksi bisu kesuksesanku!”. Barangkali, kalimat itulah yang tercatat di otaknya. Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan itu. Dan yang muncul kemudian adalah potongan lagu karya Iwan Fals lainnya berjudul sore tugu pancoran;

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu

Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Robea El-Adawea, Rabu, 3 Sept. 2008

03.00 WK

Sesaat setelah keliling mencari santapan sahur;

Sesaat sebelum menyantap hidangan sahur istimewa.