Rabu, 03 September 2008

Potret Orang Pinggiran –volume.1–

Potret Anak Pinggiran

Bocah kurus tak berbaju yang tak kenal bapaknya

Tatap matamu liar mencari mangsa

Ramai para pedagang datang tawarkan barang

Ratap pengemis bak meriang dalam terang

Potongan bait lagu Iwan Fals dengan judul terminal itu langsung tergambar di benak saat aku keluar dari masjid. Tampak seorang anak kecil mendongakkan kepala penuh semangat dan harapan. Tak segan dia menjulurkan tangannya dengan polos. Waktu masih berumur 7 tahunan dulu, begitu beruntungnya aku masih sempat duduk di bangku sekolah, entah anak itu.

Sehabis sekolah dulu, tak jarang aku langsung ngeluyur menyambar beberapa butir kelereng sambil lengak-lengok memastikan posisiku aman dari ayah-ibu. Dan sejurus kemudian, aku telah hilang dari rumah; mengahabiskan waktu seharian dengan bermain kelereng bersama teman-teman sebayaku. Tak jarang jeweran dari ibu menyambut kedatanganku sehabis main. Entah, sempatkah anak itu. Atau barangkali, jeweran juga dia dapatkan dari orang tuanya. Namun, pasti dengan kasus yang berbeda.

Barangkali, setiap adzan berkumandang anak itu selalu siap-siap guna melatih kekuatan bokongnya untuk duduk berlama-lama di depan masjid. Bahkan, di benaknya mungkin sudah tersimpan memori selembar kertas berisi jadwal waktu shalat beserta masjid-masjid tempatnya belajar. Ya, belajar menguatkan bokong dan melatih mengulurkan tangan.

Selain kelereng, saat musim kemarau, sering aku keliling bermain layang-layang di sawah-sawah. Mengukur luasnya sawah milik tetangga sebelah rumahku. Sebelum pulang, kadang sempat kuelus telinga; persiapan menyambut “sentuhan istimewa” ibu. Dan tak jarang aku menjerit dan menangis kesakitan. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bosan menerimanya.

Suatu malam di musim panas, bersama seorang teman aku jalan-jalan jam 12 tengah malam menyusuri pinggiran jalan raya Hay Sabi’. Tiba-tiba, terlihat anak kecil sedang memungut “sampah pilihan” di sebuah tong sampah berukuran agak besar. Mungkin baginya, sampah yang ia pilih adalah layang-layang indah temannya bermain. Dan lapangan yang dia ukur adalah luasnya tong sampah yang tersebar di seantero Hay Sabi’, atau bahkan mungkin seluas Kairo.

Hari minggu adalah hari yang kutunggu-tunggu saat aku kanak-kanak dulu. Dragon Ball, Power Rangers, Doraemon dan Tom & Jerry adalah tayangan yang selalu aku nantikan di televisi. Biasanya, seharian aku menghabiskan waktu di depan televisi tetangga. Dan saat nonton, tak ada seorangpun yang bisa mengganggu kecuali suara ayah atau ibu. Namun, aku terlalu cerdik untuk bisa ditemukan begitu saja oleh mereka. Setiap minggu, aku mendatangi rumah kawan secara bergantian agar jejakku tak terdeteksi. Ah, begitu pintarnya aku waktu itu.

Suatu sore di Bilangan Bawabah Tiga, aku main ke rumah seorang teman. Di pinggir jalan, tampak seorang ibu dengan 3 anaknya. Seorang di pangkuannya, dan 2 orang anak perempuan lainnya bertugas mencegat setip orang yang dianggap pantas untuk dijadikan obyek juluran tangan mereka. Umur mereka berkisar 5 dan 7 tahunan. Sepertinya, terlalu lucu untuk mengemban tugas itu. Entah, kenalkah mereka dengan Tom & Jerry, Doraemon atau Power Rangers? Bisa jadi, itu tak penting bagi mereka. Otak mereka terlalu “tua” untuk memikirkan itu. Atau mungkin “ditua-tuakan”. Yang pasti, mental mereka adalah “mental orang tua”.

Sehabis tamat SD, aku langsung diberangkatkan belajar ngaji di salah satu pondok pesantren di Madura, Annuqayah namanya. Selama 6 tahun lamanya aku mengenyam pendidikan di sana. Saat musim hujan tiba, tak jarang aku menghabiskan waktu di sungai untuk mancing. Maklum, saat hujan turun, lele banyak keluar. Sepulang dari sungai, teman-teman langsung memasaknya, kamipun berpesta. Ya, pesta lele 2 atau 3 ekor. Dan ketika waktu ngaji tiba, aku terkapar sendirian di kamar. Tak urung, bantaian dari pengurus keamanan pondok jadi santapan malamku. Walau demikian, sungai masih saja tetap menjadi teman akrab musim hujanku. Walaupun dia hanya bisa memberiku 2 atau 3 ekor lele.

Saat masih tinggal di bilangan Gami’, Hay ‘Asyir setahun lalu, tak jarang aku bertemu beberapa anak sedang menghafal Al-Qur’an secara intensif pada beberapa syaikh imam masjid Nurul Huda. Ketika salah seorang anak salah membacakan beberapa ayat, beberapa pukulan ringan langsung menghantam bokongnya. Tapi, tak ada seorang anakpun yang menjerit. Aku menilai, itu adalah pukulan nikmat seorang guru ngaji. Dan yang nampak di depan mataku adalah anak yang sedang menerima “bingkisan spesial”. “Pasti anak itu sedang menikmatinya,” pikirku dalam hati.

Saat keluar dari masjid, yang nampak adalah beberapa anak jalanan. Bahkan, seorang di antara mereka langsung mencegatku, menjulurkan tangan sambil lalu mengarahkan tangan kirinya ke mulut, pertanda minta uang untuk mengganjal perut. Padahal, tak tampak sedikitpun dia kelaparan. Yang muncul diotakku adalah, “rupanya anak ini sedang berlatih menguatkan juluran tangannya,” begitu pikirku. Dan, “Ah...” desahku kemudian.

Sewaktu kecil dulu, kadang ayah memberikan hadiah spesial berupa boneka atau mobil-mobilan. Perasaanku pasti tak karuan begitu bahagia, loncat sana-sini tanpa arah. Dan pasti, membanggakannya di depan teman-teman. Kebanggaan seorang anak kecil yang imut. Sehabis memberikannya, ayah-ibuku langsung tertawa kecil atau tersenyum bahagia.

Pernah suatu ketika, di sore musim panas yang indah, aku duduk ngasob bersama beberapa teman di bilangan Gami’. Tak lama setelah kami duduk, muncul seorang anak berlari kecil menuju ba’alah. Bajunya lusuh tak karuan. Rupanya dia membeli dua batang rokok. Cleopatra. Sejurus kemudian dia kembali ke tempatnya semula. Di sana, tampak seseorang yang terlihat lebih tua darinya. Berdua, mereka menikmati rokok yang baru mereka dapatkan; diatas “gerobak-gerobakan” tempat mereka bermain; kesana-kemari mengalunkan irama “baqia’, baqiaaa’...”.

Mereka tampak begitu bangga dengan setiap kepulan asap yang mereka keluarkan. “Akulah sang penakluk Kairo, setiap lekuk gang imarah sudah pernah aku lewati. Rokok ini jadi saksi bisu kesuksesanku!”. Barangkali, kalimat itulah yang tercatat di otaknya. Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan itu. Dan yang muncul kemudian adalah potongan lagu karya Iwan Fals lainnya berjudul sore tugu pancoran;

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu

Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Robea El-Adawea, Rabu, 3 Sept. 2008

03.00 WK

Sesaat setelah keliling mencari santapan sahur;

Sesaat sebelum menyantap hidangan sahur istimewa.

Tidak ada komentar: